A. Pengertian Sahabat dan Tabi’in
Shahabat menurut lughah, jamak dari shahib itu
diartikan: “yang empunya dan menyertai.” Menurut ‘uruf, kawan atau teman
yang selalu berada bersama-sama kita. Dan jamak dari kata shahib adalah shabhun,
ashab, dan shahabah.
Sahabat, menurut Jumhur ahli hadits ialah:
من لقي النبي مؤمنا به ومات على الاسلام
“Orang
yang bertemu dengan Nabi, ia beriman kepadanya dan mati di dalam Islam”
Orang yang bertemu dengan Nabi Saw., namun dia belum memeluk
agama Islam, tidak dipandang sahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh.
Orang yang semasa dengan Nabi Saw. dan beriman kepadanya tetapi tidak
menjumpainya, seperti An-Najasi (Raja Habsy), atau menjumpai Nabi Saw. setelah
Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib juga tidak bisa disebut sahabat.
Termasuk sahabat, jika ia tetap dalam keadaan beriman,
hingga dia wafat. Jika dia murtad sesudah dia dijuluki “sahabat”, hilanglah kesahabatannya,
sehingga dia kembali beriman. Jika dia meninggal dalam kekafiran seperti
Abdullah ibn Jahasy, maka hilanglah kesahabatannya itu.[1]
Tabi’iy pada
asalnya berarti pengikut. Dalam ilmu hadits, tabi’in ialah seluruh orang
Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak bertemu
dengan Nabi Saw. dan tidak pula semasa dengan Nabi Saw.
Ibnu Hajar berkata:
التابعي من لقي الصحابي مؤمنا بالإسلام.
“Tabi’iy
itu orang yang menjumpai shahaby dalam keadaannya beriman dan mati dalam
Islam.”.[2]
B. Sunnah Pada Masa Sahabat
Selain Alquran sebagai sumber pertama hukum Islam,
sunnah Rasulullah Saw. menempati urutan kedua sebagai sumber hukum Islam. Hal
ini terlihat dengan Sabda Rasulullah Saw. ketika menjelang wafat beliau;
حدثنا سعيد بن عثمان، قال: حدثنا أحمد
بن دحيم، قال: حدثنا محمد بن إبراهيم الدؤلي، قال: حدثنا علي بن زيد الفرائضي،
قال: حدثنا الحنيني، عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف، عن أبيه، عن جده، قال:
قال رسول الله, صلى الله عليه وسلم: "تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما:
كتاب الله وسنة نبيه, صلى الله عليه وسلم"[3]
“Aku
meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak
akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-Nya.”
Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul Saw.
tersebut. Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan
Alquran sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan
perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada
sunnah Nabi Saw. berarti mengikuti petunjuk Nabi Saw. dan memelihara
kemurniannya.
Para sahabat mengetahui kedudukan Sunnah maka mereka
berpegang teguh padanya dan mengikuti atsar-atsar Rasulullah Saw..
Mereka tidak mau menyalahi ataupun berpaling dari Sunnah. Karena itu, mereka
sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Saw. karena khawatir
berbuat kesalahan dan takut Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan
dan pengubahan.[4]
Setelah wafatnya Nabi Saw., Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah. Komitmen Abu Bakar untuk menegakkan hukum Allah dan Sunnah Rasul Saw.
dibuktikan dengan kebijakannya memerangi kaum munafik. Beliau bersumpah bahwa
orang yang tidak mau membayar zakat akan diperanginya karena tindakan itu
berseberangan dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw. Beliau mengangkat
Khalid bin Walid sebagai panglima perang untuk salah satu tujuan itu, juga
karena adanya apresiasi sunnah terhadapnya. Kepengikutan sahabat terhadap
Sunnah setelah khalifah ini terus berlanjut, misalnya di dalam pemerintah Umar,
Usman, dan Ali.
Secara umum dapat dikemukakan tiga poin penting tentang
metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
1. Menyedikitkan Riwayat
Sebagaimana telah di jelaskan bahwa Sunnah merupakan
sumber syari’at Islam yang utama setelah Alquran. Oleh karena itu, para sahabat
menempuh segala cara untuk memeliharanya. Di antara mereka lebih memilih
bersikap ‘sedang (tidak banyak dan tidak sedikit) dalam meriwayatkan hadits’
dari Rasulullah Saw., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap
‘sedikit dalam meriwayatkan hadits’.[5]
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar,
ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut
semakin kuat ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar meminta dengan
keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang
mengembangkan periwayatan hadits. Ketika mengirim para utusan ke Iraq beliau mewasiatkan
supaya mereka mengembangkan segi kebagusan tajwid-nya, serta mencegah
mereka memperbanyak riwayat.[6]
Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang
memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah
ketika ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada era
pemerintahan Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekiranya saya membanyakkan, tentulah
umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.”[7]
Sahabat Umar dan sahabat-sahabat lain secara bersama-sama
bersikap ketat dalam hal periwayatan untuk memelihara Alquran di samping
memelihara Sunnah. Umar sungguh khawatir manusia sibuk meriwayatkan
hadits dengan mengabaikan Alquran, sedangkan Alquran merupakan undang-undang
Islam. Maka, beliau menghendaki kaum muslimin menghafal Alquran dengan baik,
kemudian memperhatikan hadits yang mulia yang belum dibukukan seluruhnya pada
masa Rasulullah Saw., sebagaimana Alquran. Atas dasar inilah, umar menetapkan
suatu cara kepada mereka, yaitu keharusan dilakukannya pembuktian ilmiah dan sedikit
meriwayatkan hadits karena takut terjatuh dalam kesalahan.[8]
Jadi, para sahabat melakukan hal itu semua karena
berhati-hati dalam persoalan-persoalan agama dan memelihara kemaslahatan kaum
muslimin, bukan maksud hendak menjauhi hadits Nabi Saw., dan bukan pula
bermaksud mengabaikannya. Maka, tidak boleh seseorang menganggap cara yang
ditempuh para sahabat dan Umar pada khususnya, sebagai sikap meninggalkan atau
menjauhi Sunnah.
2. Berhati-hati dalam Meriwayatkan
Hadits
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat
tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada
masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan
penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap
berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan
penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah yang
mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Berikut ini sebagian kabar yang menjelaskan kepada kita
tentang jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menerima kabar;
a.
Pembuktian Abu Bakar terhadap Khabar
عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ
قَالَ جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا
فَقَالَ مَا لَكِ فِى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَىْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِى
سُنَّةِ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا فَارْجِعِى حَتَّى أَسْأَلَ
النَّاسَ. فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَعْطَاهَا السُّدُسَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ
مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ
الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ.[9]
Dari
Qubaisyah bin Dzuaib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk meminta
(menanyakan) harta warisan untuk dirinya. Abu Bakar menjawab, “Di dalam Alquran
saya tidak menemukan sesuatu untuk dirimu, dan saya tidak mengetahui Rasulullah
Saw. menyebut sesuatu untuk dirimu”. Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada para
sahabat yang lain. Al-Mughirah berdiri dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah
Saw. berkata bahwa ia memberikan seperenam untuknya”. Abu Bakar bertanya kepada
al-Mughirah, “Adakah orang lain bersamamu (ketika mendengar sabda Rasulullah
Saw. itu)?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian. Setelah
Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang hal itu maka Abu Bakar
memberikan waris nenek itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw. itu.
Dengan peristiwa itu, menunjukkan bahwa Abu Bakar sangat
berhati-hati dalam menerima kabar. Bukan bermaksud menutup periwayatan
hadits. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang
telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
b.
Pengukuhan Umar bin Khaththab
terhadap Penerimaan Kabar
عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِى
مَجْلِسِ الأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا. قُلْنَا
مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَىَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ
بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَىَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا
مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّى أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ
ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَىَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ
فَلْيَرْجِعْ ». فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلاَّ
أَوْجَعْتُكَ. فَقَالَ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ لاَ يَقُومُ مَعَهُ إِلاَّ أَصْغَرُ
الْقَوْمِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ فَاذْهَبْ
بِهِ.[10]
Abu
Sa’id al-Khudri, Ia berkata, “Saya berada disuatu majelis para sahabat Anshar. Tiba-tiba
Abu Musa al-Asy’ari datang, seakan-akan ia sedang dalam ketakutan, kemudian ia
berkata, ‘Saya meminta izin (mengucapkan salam) tiga kali hendak masuk ke rumah
Umar, saya tidak diizinkan, kemudian saya pulang’. Umar bertanya, ‘Apa yang
menghalangimu (masuk kerumahku)?’ Saya (Abu Musa) menjawab, ‘Saya telah meminta
izin tiga kali (tetapi) saya tidak diizinkan, kemudian saya kembali karena
Rasulullah Saw. bersabda ‘Jika salah seorang diantaramu telah meminta izin tiga
kali kemudian ia tidak diizinkan kepadanya maka hendaklah ia kembali’. Umar
berkat, ‘Hadirkan saksi atas kebenaran sabda Rasulullah Saw. jika tidak, saya
akan menyakitimu’. Kemudian Ubay bin Ka’ab berkata, ‘Tidak ada yang menemaninya
(ketika itu) kecuali orang yang paling muda di antara kaum.” Abu Sa’id
berkata, ‘Aku orang yang paling muda diantara mereka’. Maka Ubay berkata, “Maka
pergilah (untuk menjadi saksi kepada Umar) dengannya.
Di sini dapat kita lihat, bagaimana kehati-hatian Umar dalam
menerima kabar dari sahabat, bahkan dia memberi ancaman akan menyakiti jika Abu
Musa tidak bisa menghadirkan saksi dengan apa yang diucapkannya. Tindakan Umar
ini mendorong kaum muslimin melakukan pembuktian ilmiah dengan
sebaik-baiknya dan bersikap hati-hati terhadap agama Allah sehingga seseorang
tidak bisa dengan mudah mengatakan sesuatu atas nama Rasulullah Saw.. Hal ini
tampak jelas pada perkataan Umar r.a. ketika Abu Musa al-Asy’ari pulang bersama
Abu Sa’id al-Khudri dan memberikan kesaksian kepadanya. Umar berkata, “Ingat,
sesungguhnya saya tidak (bermaksud) mencurigaimu, tetapi saya khawatir manusia
berkata-kata atas (nama) Rasulullah Saw..”[11]
c.
Pembuktian Utsman terhadap Hadits
عن بسر بن سعيد قال : أتى عثمان المقاعد
فدعا بوضوء فتمضمض واستنشق ثم غسل وجهه ثلاثا ويديه ثلاثا ثلاثا ثم مسح برأسه
ورجليه ثلاثا ثلاثا ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم هكذا يتوضأ يا
هؤلاء أكذاك؟ قالوا نعم، لنفر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم عنده[12]
Diriwayatkan
dari Bisr bin Sa’id, ia berkata, “Utsman datang di tempat duduk (suatu lokasi
di masjid tempat dia dan para sahabat berwudhu). Ia meminta air lalu berwudhu.
Pertama, ia berkumur dan menghirup air ke hidung. Kemudian ia membasuh wajahnya
dan membasuh tangannya masing-masing tiga kali. Setelah itu, ia mengusap
sebagian kepalanya dan kedua kakinya, masing-masing tiga kali. Selesai
berwudhu, ia berkata, ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah Saw. berwudhu. Wahai
para sahabat, benarkah demikian wudhu Rasulullah Saw.?’ Mereka menjawab, ‘Ya,
sekelompok sahabat Rasulullah Saw. menyaksikan wudhu beliau demikian’.”
d. Pembuktian Ali bin Abi Thalib
terhadap Hadits
عن علي رضي الله عنه قال كنت إذا سمعت
من رسول الله صلى الله عليه و سلم حديثا نفعني الله بما شاء منه وإذا حدثني عنه
غيري استحلفته فإذا حلف لي صدقته وإن أبا بكر رضي الله عنه حدثني وصدق أبو بكر أنه
سمع النبي صلى الله عليه و سلم قال : ما من رجل يذنب ذنبا فيتوضأ فيحسن الوضوء قال
مسعر ويصلي وقال سفيان ثم يصلي ركعتين فيستغفر الله عز و جل إلا غفر له.[13]
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib r.a., ia berkata, “Jika saya mendengar suatu hadits
dari Rasulullah Saw. maka semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan apa yang
Dia kehendaki dari hadits itu. Jika orang lain meriwayatkan hadits kepadaku
maka saya memintanya bersumpah. Jika dia bersedia bersumpah maka saya
membenarkannya. Sesungguhnya Abu Bakar meriwayatkan hadits kepadaku –dan Abu
bakar adalah benar- bahwa nabi Saw. bersabda, “Tidaklah seseorang berbuat
(suatu) dosa kemudian dia berwudhu, menyempurnakan wudhunya, dan melakukan
shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla, kecuali
Allah akan memberi ampunan kepadanya.
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya
selektivitas yang dilakukan sahabat untuk menerima periwayatan. Hal ini
didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau
kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul Saw. Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap
eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan
meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah.
Tidak ada satu indikasipun yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke
arah itu.
3.
Para sahabat melarang periwayatan
hadits yang belum dapat dipahami Umum
Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena
dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan
ini khusus terhadap riwayat yang dapat mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya
kepada orang lain dengan pemahaman yang keliru tersebut. Misalnya, seperti
hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz, “Saya membonceng Rasulullah Saw. naik
keledai milik beliau yang diberi nama Ufair. Kemudian beliau bertanya,
يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد و
ما حق العباد على الله؟ فقلت الله ورسوله أعلم . قال فإن حق الله على العباد أن
يعبدوه ولا يشركوا به شيئا و حق العباد على الله أن لا يعذب من لايشرك به، فقلت:
افلا أبشر الناس؟ قال: لا، فيتكلوا
“Hai
Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba
atas Allah?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau
bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka harus
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan (sesuatu apapun) dengan-Nya”. Saya
bertanya, “Apakah saya tidak (perlu) memberi kabar gembira kepada manusia?”
Beliau menjawab, “Tidak, (karena khawatir) mereka berpangku tangan (lalai,
tidak beramal).[14]
Al-Hasan bin Abi Bakar memberi tahu kami, ia berkata “Abu
Ali ath-Thaumari berkata, “Kami berada di samping Abu al-Abbas, yaitu Ahmad bin
Yahya Taghlab kemudian seseorang berkata kepada Abu al-Abbas, “Apa arti sabda
Rasulullah Saw. kepada Ali bin Abi Thalib, sementara Abu Bakar dan Umar juga
menghadap beliau. Beliau bersabda,
هذان سيدا كهول اهل الجنة لاتخبر هما
ياعلي
“Dua
orang ini (Abu Bakar dan Umar) adalah tokoh yang berusia antara tiga puluh
sampai lima puluh tahun diantara penghuni surge. Jangan lah kamu memberi tahu
kepada keduanya hai Ali.”
Abu
al-Abbas menjawab, “Beliau khawatir keduanya (Abu Bakar dan Umar) lalai
beramal.”[15]
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif
untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar.
Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat
seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk meninggalkan syariat Allah.
C. Sunnah pada Masa Tabi’in
Pada era tabi’in, keadaan Sunnah tidak jauh berbeda
dari era sahabat. Mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Mereka
melakukan pembuktian kebenaran hadits yang disampaikan oleh perawi dengan
berbagai cara. Orang yang menelusuri sejarah para perawi dan cara mereka
menerima hadits akan mengetahui jerih payah para tabi’in dan para
pengikut mereka. Itulah jerih payah mereka untuk meriwayatkan Sunnah
kepada generasi sesudah mereka.
Para tabi’in dan pengikut mereka tidak menetapkan
syarat-syarat tertentu dalam menerima riwayat. Tidak ada seorang pun di antara
mereka yang mensyaratkan dua orang perawi atau lebih di dalam menerima kabar.
Pada prinsipnya, mereka menerima kabar dari semua perawi yang memenuhi
persyaratan tahamul ‘menerima kabar’ dan adil, sebagaimana disepakati
oleh ulama hadits. Jika seorang perawi tidak memenuhi syarat adil maka semua
kabar yang dibawanya akan ditolak.[16]
1. Masa Keseimbangan dan Meluas
Periwayatan Sunnah
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih
serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkan ke masyarakat luas
dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H. tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq.
Pada tahun 20 H. mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H. mengalahkan Persia. Pada
tahun 56 H. tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H. tentara Islam
menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota-kota itu
kemudian menjadi “perguruan” tempat mengajarkan Alquran dan al-Hadits yang
menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.[17]
Dalam fase ini, hadits mulai disebarkan dan mulailah
perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai
memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabi’in berusaha
menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan
mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-‘Ala (sebelum meninggal).
Demikian pula berita tentang kunjungan seorang shahaby ke sebuah kota,
sungguh menarik perhatian para tabi’in. ketika mengetahui kedatangan
seorang shahaby, mereka berkumpul disekitarnya untuk menerima hadits
yang ada pada shahaby tersebut.[18]
2. Tokoh-tokoh Sunnah di Kalangan
Tabi’in
Di antara tokoh-tokoh tabi’in yang masyhur dalam
bidang riwayat:
a. Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab,
Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali,
Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry,
Sulaiman Ibn Yassar, dan lainnya.
b. Di Makkah: Ikrimah, Atha’ ibnAbi Rabah,
Abu az-Zubair, Muhammad ibn Muslim.
c. Di Kuffah: Asy-Sya’by, Ibrahim
An-Nakha’y, Alqamahan-Nakha’y.
d. Di Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad
ibn Sirrin, Qatadah
e. Di Syam: Umar ibn Abd al-Aziz,
Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka’ab al-Akbar.
f. Di Mesir: Abu al-Khair Martsad
ibn Abdullah al-Yaziny, Yazid ibn Habib.
g. Di Yaman: Thaus ibn Kiasan al-Yamany,
Wahab ibn al-Munabbih.[19]
3. Mulai Timbul Pemalsuan Sunnah
Tahun 40 H. merupakan batas yang memisahkan antara masa
terlepas hadits dari pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadits.
Sejak dari timbul fitnah di akhir masa usman, umat Islam pecah menjadi beberapa
golongan. Pertama, golongan yang membela Ali bin Abi Thalib, yang kemudian
dinamakan golongan Syiah. Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali dan
Mu’awiyah. Ketiga, golongan Jumhur (golongan pro pemerintah pada masa itu).
Umat Islam terpecah ke dalam golongan-golongan tersebut.
Karena di dorong kepentingan golongan, mereka berupaya mendatangkan keterangan
(hujjah) untuk mendukung keberadaan mereka. Maka mereka berupaya membuat
hadits-hadits palsu dan menyebarkannya ke masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah diantara riwayat-riwayat itu ada
yang shahih dan ada juga yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak
dan beraneka pula. Mula-mula mereka memalsukan hadits mengenai pribadi-pribadi
orang yang mereka agung-agungkan. Yang mula-mula melakukan pekerjaan ini ialah
golongan Syiah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang
ulama Syi’ah dalam kitabnya Syarh Nahju al-Baghdad, dia menulis,
“Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan
pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi’ah sendiri.” Perbuatan mereka ini
ditandingi oleh golongan Jumhur yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits
untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan Syi’ah itu.
Maka dengan keterangan ringkas ini nyatalah bahwa kota yang
mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu (maudhu’) ialah Baghdad
(Iraq) tempat kaum Syi’ah berpusat. Imam Malik sendiri menamakan Baghdad
sebagai “pabrik hadits palsu.”[20]
[1]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. ke-3, h.
206
[3]Abi Umar Yusuf bin Abdullah an-Namiri al-Qurthubi, Jami’
Bayan al-‘Ilm wa Fadhlihi, Juz II, 2003, h. 55
[4]M. Ajaj al-Khatib, “As-Sunnah Qablat-Tadwin”, diterjemahkan
oleh AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum di Bukukan, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1981), cet. ke-5, h. 124
[9]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III (Beirut: Darul
Kitab al-‘Arabi, tth.), h. 81. Dikutip dari CD al-Maktabah asy-Syamilah
[10]Abul Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi
an-Naisaburi, Sahih Muslim,Juz VI (Beirut: Darul Afaq, tth), h.
6 Dikutip dari CD al-Maktabah asy-Syamilah
[12]Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz
1, (Al-Kahirah: Muassasah Qurthubah, tth.), h. 67. Dikutip dari CD
al-Maktabah asy-Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar