Riwayat Hidup
Imam Malik
Dalam sebuah
kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa
saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang
diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.
Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur
Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila
sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat
lagi.
Manusia yang
mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang
bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin
Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada
tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat,
berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah
asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama
yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu
yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran
Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya.
Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras
murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah
Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata,
''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''
Ketegasan sikap
Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan
penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa
takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah.
Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur,
meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada
khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak
mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak
sukai.
Ia pun
mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti
tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan
pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali.
Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali.
Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan
untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang
mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Dari Al
Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak
hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan
Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik
dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid
wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al
Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al
Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as
Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama
mazhab Maliki.
Di samping
sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat
mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan,
sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah
Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al
Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak
didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Riwayat Hidup Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah
An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah
satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang
mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki
madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi
badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara,
suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu
memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam
pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang
tidak berguna.
Beliau disibukkan
dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu.
Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan
dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir
penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu
dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau
juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang
merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj
al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin
Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru
fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar,
dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu
dengan 7 sahabat.
Beliau pernah
bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang
bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala
diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya
tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan
Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan
Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh
salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim)
di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum
cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui
keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang
belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar
bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya
Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman
al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud
Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok,
Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani,
Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin
Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi,
Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub
Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu
Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama
terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa
penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in
berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits
kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan
dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di
dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak
berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul
Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya
melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang
biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”.
Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai
Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah,
saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’
kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal,
dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga
berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling
wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau
juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat,
kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat
maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang
paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf
berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara
tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”.
Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang
tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata,
“Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih
hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh
berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya,
termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu,
sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari
harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan
Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id
al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar
pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak
mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats
berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada
syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata,
“Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki
atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah
berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang
yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian
negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin
Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam
hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin
Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak
kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul
Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi
memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman.
Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan
dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari
Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan
tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah
Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini
adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu
adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan
tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang”
adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak
menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada
yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang
semisalnya …
Dan dinukil pula oleh
para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang
terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’,
sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami
tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya
terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu
masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan
tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak
membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah
tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya;
dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia
belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa
dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak
maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi
yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat
Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih
banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada
beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab
al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan
mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada
Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua
riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam
sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan
cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam
yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara
haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan
riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah
kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya
al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr
berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah
dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah,
maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu
Hanifah dari orang-orang yang adil”
Beberapa nasehat Imam
Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits.
Diantara
nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih
sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi
seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui
dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram
bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan
dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat
pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi
harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf),
janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku
tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani
berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak
mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap
orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia
berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah
kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk
itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan
kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu
Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni
dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami
dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu
Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat,
setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh
pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut
dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit
dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya
dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada
zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini.
Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan
para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang
diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh
Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila
demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia
menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan
udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak
dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan
sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah
satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini.
…”.
c. Apabila saya
mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah
yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari majalah
Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan
Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
Riwayat Hidup Imam Syafi'i
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu
Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas
bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin
al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab
Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih
termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh
beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah
Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia
seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan
menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya
meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau,
-yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian
ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘,
sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan
Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang
Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan
masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta
ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan
nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka
membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan
Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy
secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan
pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan
al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang
wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam
an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun
beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam
urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada
tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai
isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang
ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat
yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan
disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di
perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina.
Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang
disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa
riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau
dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur
dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk
negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah
(dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena
sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal
di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang
guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru
ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam
menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal
Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya
ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua
yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.”
Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya
(mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi
menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di
al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak
berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan
kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai
tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar,
dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi
pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah
menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan
Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu
bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah
pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian
bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau
telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka,
serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji
oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup
sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah
mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji
-mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu
fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari
ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman
al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-,
Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau
mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping
itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai
menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal.
Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti
mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya
untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah,
untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik
bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang
Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya
di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau
menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang
Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu
dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih
banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian
melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif
bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari
Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para
ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar
karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya
itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang
kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid,
Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari
kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i
hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut
kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani
‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan
‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan
pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka
sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam
pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia
melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan
dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun
menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai
orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan
tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap
tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar,
Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini
kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah
kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran
maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas
membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya
bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu
digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah
orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke
hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan
pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia
menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya,
Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan
dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-,
beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan
kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan
bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan
untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan
asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk
itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu,
kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain.
Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada
saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia
belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah.
Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota
Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i
memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain.
Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di
Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam
rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan
meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut
namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin
segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai
dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat
sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa
hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun,
kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar
madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari
lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak.
Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan
politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan
terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i
adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana
pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini
dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena
orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi
setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka
tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab
mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi
mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu
hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia
mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran
itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh.
Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah,
Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya
menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak
Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau
berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi
kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul
Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu
menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau
selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam
menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika
kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian
berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya
mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa
al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan
beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka.
Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari
Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain
keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi
Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan
menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali
dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i
berkata, “Tidak
ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani
berkata, “Merupakan
madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami
sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat
memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah
kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara
kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang
meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar
ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin
lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya.
Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab
permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya
rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi
melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa
yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau
menjawab, “Allah
mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara
yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama
setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu,
hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut
Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113
kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan
jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim
dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara
kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid
berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah
direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
Riwayat Hidup Imam Hambali
"Ia murid
paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi
sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah
selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah merupakan saksi hidup
watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang
masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak lain adalah
guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang
tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup
dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya
kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama
terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya
untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan
Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40
tahun.
Pertama kali,
ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh.
Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra
bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk
terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah.
Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad,
dan Said.
Tak hanya
pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin
Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan
kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun
sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga
Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai
kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata,
''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat
dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya
kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar