Pada zaman sekarang kumpulan
dzikir lebih kita butuhkan, karena manusia telah dibisingkan oleh keduniaan saja, sehingga sedikit sekali
untuk mengingat pada Allah dan Rasul-Nya dan kurang bersilator Rohmi! Sebelum
kami mengutip dalil-dalil dan wejangan para pakar islam yang berkaitan dengan
majlis dzikir, marilah kita baca ,berikut ini, Penelitian Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2001 dan 2002 yang
diarsiteki oleh Saiful Mujani, direktur Freedom Institute, yang
baru menyelesaikan doktoralnya di Universitas Ohio State, Amerika pada 10 Juni
2003. Kami kutip bagian yang penting saja, yang berkaitan dengan kumpulan
majlis dzikir.
Dengan adanya kutipan dalil-dalil dibab
ini, insya Allah pembaca bisa menilai sendiri serta mengambil kesimpulan
tentang manfaat kumpulan (halaqat) dzikir Istighothah, Tahlil/Yasinan
dan lain lain untuk masyarakat dan ruginya orang yang tidak mau kumpul
berdzikir bersama masyarakat.
"Temuan orang-orang seperti Alexis
Tocqueville di Amerika yang termuat dalam bukunya yang terkenal, Democracy in
America. Tocqueville mendeskripsikan tentang seorang yang religius (beragama)
dan aktif dalam kegiatan keagamaan serta menjadi demokratis sekaligus mempunyai
sumbangan bagi perkembangan demokrasi. Nah, urgensi agama dalam hubungannya
dengan demokrasi akan terlihat bila agama diterjemahkan dalam kelompok-kelompok
sosial yang menjadi kekuatan kolektif, membentuk jaringan sosial, dan
seterusnya. Misalnya, mereka yang rajin berpuasa sunnah sendiri atau sholat tahajud
pada gelap malam sendirian, ibadah-ibadah ini, sekalipun penting dan pokok
dalam agama, kalau ditarik lebih lanjut dalam kehidupan sosial-politik
yang lebih luas, hal tersebut tidaklah terlalu bermakna (dalam hubungan antara
manusia). Untuk bisa suksesnya konteks demokrasi, maka dimensi-dimensi ritual
yang beraspek kolektivitas yang lebih diperlukan dalam konteks demokrasi.
Misalnya, sholat berjama’ah. Dalam Islampun, pahala sholat berjama‘ah lebih
banyak ketimbang munfarid (sholat sendirian).
Dalam tradisi (partai) NU, kita mengenal
praktik yasinan, manakiban, tahlilan, tujuh harian bagi orang yang meninggal,
haul, dan lain-lain. Praktik-praktik itu, dalam temuan dua penelitian saya
secara nasional pada 2001 dan 2002, mempunyai efek ganda. Dengan begitu,
dalam diri mereka ada semacam peran-peran dan status sosial yang lebih
kompleks. Itulah yang menjadikan seorang yang religius tersebut menjadi positif
untuk konteks demokrasi. Sebab, basis sosial semacam itulah yang sesungguhnya
di butuhkan oleh demokrasi kalau kita melihatnya dari sisi masyarakat.
Dalam ritual yasinan, tahlilan,
manakiban dan lain-lain, terdapat dimensi transedental, yakni niat
ibadah pada Allah. Hanya, implikasi ritual tersebut juga banyak kita
temukan. Dalam ritual yasinan, kita kan tidak hanya membaca yasin, tapi juga bersilaturahmi,
bertemu orang lain, dan saling menyapa. Itulah yang dalam konteks demokrasi
disebut sebagai civic engagement (keterlibatan masyarakat). Sekiranya,
modal sosial dalam tradisi kita tersebut yang mendorong orang untuk hidup
secara kolektif dan terlibat secara
sosial dimusnahkan karena dianggap bid’ah bahkan kasus-kasus tertentu
diklaim musyrik, tindakan itu tidak akan mendukung kearah demokrasi.
Coba lihat, kehidupan keagamaan di Arab
Saudi (zaman sekarang) begitu kering. Disitulah akar fundamentalisme dan
konservatisme Islam yang sangat anti demokrasi berkembang. Apa penyebabnya?
Mereka melihat kehidupan ini begitu simpel. Mereka tidak membawa ummat Islam
dalam kehidupan yang sangat kaya dan heterogen secara sosial-budaya.
Artinya, jika umat Islam makin terlibat dalam kehidupan sosial, dia makin
terhindar dari benih-benih fundamentalisme. Karena itu, kita bisa menyaksi- kan
orang-orang sufi termasuk yang cukup toleran. Hal itu disebabkan ada
dimensi sosial yang mereka rasakan, lihat, dan alami sendiri. Dengan begitu,
mereka tahu bahwa hidup bukan hanya hitam-putih atau untuk ibadah yang bersifat
personal (perorangan) saja ". Demikianlah ungkapan dari Saiful Mujani.
Dalil-dalil dzikir termasuk dalil
dzikir secara jahar (agak keras)
Pada bab ziarah kubur disitus ini,
kami telah menerangkan manfaat majlis dzikir (Tahlil dan bacaannya, Talqin
dan lain-lain), marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil mengenai berkumpulnya orang-orang untuk berdzikir
pada Allah swt..
Termasuk juga dalam kategori dzikir ialah pembacaan Tahlil, Talqin,
Istighothah, peringatan-peringatan keagamaan (maulud, isra’ mi’raj Nabi saw)
dan sebagainya. Dengan adanya dalil-dalil berikut ini, para pembaca
bisa menilai sendiri apakah kumpulan/majlis dzikir ,yang contohnya telah
dikemukakan diatas, dilarang oleh syariat islam , sebagaimana yang
digembar-gemborkan oleh para pengingkar majlis/kumpulan dzikir.
Apa makna/arti Dzikir yang selalu disebut-sebut dalam ayat al Qur’an dan
hadits? Menurut pendapat para ulama yang dimaksud Dzikir ialah: ‘mengingat pada Allah swt.'. Makna
ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk mengingat pada
Allah swt. dan Rasul-Nya, misalnya; sholat, bertasbih, bertahlil, bertakbir,
majlis ilmu, memuji Allah dan Rasul-Nya, menyebutkan sifat-sifat kebesaran-Nya,
sifat-sifat keindahan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan yang telah dimiliki-Nya,
membaca riwayat para utusan Allah dan sebagainya. Tidak lain semuanya ini
untuk lebih mendekatkan diri kita pada Allah swt sehingga kita mencintai dan
dicintai Allah swt. dan Rasul-Nya.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath Al-Bari X1:209 mengatakan:
“Yang dimaksud dengan dzikir
adalah mengucapkan kata-kata yang diperintahkan untuk diperbanyak
pengucapannya. Hal ini seperti Al-baqiyat
ash-shalihat (amal sholeh yang kekal manfaatnya) berupa dzikir;. Suhhanallah wal-hamdulillah, wa la ilaha
illallah wallahu Akbar (Maha suci Allah, segala puji hanya milik Allah,
tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah itu Mahabesar).
Juga seperti dzikir-dzikir yang lainnya, yaitu membaca hauqalah (la
haula wa la quwwata illa billah, [tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah] ), basmalah
(bismillah ar-Rahman ar-Rohim [dengan nama Allah yang
Pengasih dan Penyayang] ), istighfar
(astaghfirullah, [aku mohon ampunan dosa dari Allah] ),
hasbalah (hasbunallah
wa ni’ma al-wakil, ni’ma al-maula wa ni’ma an-nashir [cukuplah bagi kami Allah,
dan Dia sebaik-baik pelindung, sebaik-baik majikan dan sebaik-baik penolong] ).
Demikian pula do’a (permohonan) untuk kemaslahatan/ kebaikan dunia dan
akhirat.
Secara mutlak ,menurut Ibn Hajar
selanjutnya, dzikir juga berarti mengamalkan secara terus menerus apa yang
diwajibkan atau dianjurkan oleh Allah swt., seperti membaca Alqur’an,
membaca hadits, belajar atau menuntut ilmu, juga melakukan sholat sunnah.
Dzikir juga kadang-kadang berupa pelafalan/pengucapan dengan lidah dan
orang yang mengucapkannya berpahala. Dalam dzikir semacam ini tidak disyaratkan
untuk menghadirkan hati –atau mengkhusyu’kannya– hanya tidak boleh mempunyai
tujuan selain yang sesuai dengan yang dibaca. Tetapi, jika dzikir semacam ini
diikuti dengan penghayatan oleh hati, maka itu lebih sempurna. Dan jika dzikir
tersebut disertai pemaknaan dan penghayatan seperti mengakui keagungan Allah
dan membersihkan atau mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, maka dzikir
tersebut semakin sempurna.
Jika –pemaknaan dan penghayatan mendalam
seperti itu– terjadi pada setiap amal
sholeh (perbuatan yang bagus) –baik yang diwajibkan, berupa sholat, jihad
maupun selain keduanya– maka hal itu akan lebih menambah kesempurnaan ibadah
yang dilakukan. Apalagi jika tawajjuh (menghadapkan
jiwa raga kepada Allah) dapat dilurus kan (dibenarkan) disertai keikhlasan yang
sungguh-sungguh, maka kesempurnaannya semakin bertambah. Ibnu Hajar selanjutnya
mengatakan bahwa Al-Fakhr Ar-Razi berkata: ‘Yang dimaksud dzikir
dengan lisan itu ialah (pengucapan) kata-kata yang mengandung tasbih [menyucikan Allah], tahmid [memuji Allah] dan tamjid (memuliakan dan mengagungkan
Allah swt.]. Sedang yang dimaksud dengan dzikir qalb (dalam hati) ialah berpikir mengenai dalil-dalil atau
bukti-bukti mengenai Dzat Allah, sifat-sifatNya dan yang berkaitan dengan taklif [kewajiban yang dibebankan oleh
syariat] berupa perintah dan larangan. Dengan begitu, orang yang berdzikir akan
mengetahui hukum-hukum serta rahasia-rahasia Allah yang ada pada (semua)
makhluk-Nya.
Sedangkan dzikir dengan anggota tubuh
(lainnya) ialah bahwa anggota tubuh semuanya dipergunakan –secara optimal atau
penuh– dalam taat kepada Allah swt.. Meskipun demikian, Allah swt. menyebut
sholat itu sebagai dzikir. Seperti difirmankan-Nya:..maka pergilah
(untuk menuju) ke dzikrullah (sholat jumat). Diriwayatkan
dari sebagian al-‘arifin –ahli
tauhid– bahwa dzikir itu dilakukan lewat tujuh segi; yaitu dzikir
mata dengan menangis; dzikir
telinga dengan mendengarkan
(ajaran Allah); dzikir lidah
dengan menyanjung atau memuji Allah swt; dzikir kedua tangan dengan memberi infak,sedekah, zakat,
hadiah dan lain-lainnya; dzikir badan dengan al-wafa (memenuhi tuntutan dan janji); dzikir
hati dapat dilakukan dengan adanya khauf (rasa takut akan murka Allah), dan raja’ (penuh pengharapan terhadap rahmat
dan karunia Allah swt) serta dzikir ar-ruh dengan berserah diri
kepada ketentuan Allah serta ridho/rela atas apa yang ditentukannya”.
Demikianlah menurut Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani.
Sedangkan dalam buku Fiqih
Sunnah oleh Sayid Sabiq jilid 4 hal. 247 cet. pertama th.1978B ditulis,
bahwa Imam Qurtubi berkata: “Majlis dzikir maksudnya ilmu dan
peringatan yakni majlis dimana disebut firman-firman Allah dan sunnah-sunnah
Rasul-Nya. Begitupun berita-berita (riwayat-riwayat) mengenai
orang-orang sholeh dari golongan Salaf, ucapan-ucapan imam dahulu yang zuhud,
yang bebas dari bid’ah dan hal yang dibuat-buat, bersih dari maksud jelek dan
maksud serakah”.
Firman-firman Allah swt dan hadits-hadits
yang berkaitan dengan dzikir (jahar maupun lirih), antara lain:
Dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita
banyak berdzikir, yang artinya sebagai berikut: “Hai orang-orang
yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyak-
nya, dan bertasbihlah pada-Nya diwaktu pagi mau pun
petang!”.
Dalam surat Al-Baqarah :152 Allah berfirman
فَاذْكُرُونِي
أذْكُرْكُمْ ...........
Artinya: “Berdzikirlah
(Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ”
Dalam
surat Ali Imran :191:
اَلَّذِيْنَ
يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم
Artinya: “...Yakni orang-orang
dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”.
Dalam surat Al-Ahzab :35:
وَالذَّاكِرِيْنَ
اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَة
وَأجْرًا
عَظِيْمٌا
Artinya: “Dan terhadap orang-orang
yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan
keampunan dan pahala besar”.
Dalam surat Ar-Ro’d :
28:
الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ
تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ
الـقُلُوبُ.
Artinya: “Yaitu
orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada
Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan
tenteram”.
Dalam hadits qudsi, dari
Abu Hurairah, Rasulallah saw. bersabda : Allah swt.berfirman :
اَنَا عِنْدَ
ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي
نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي
وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ
مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا
وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ إلَيْهِ
بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِي أتَيْتُهُ هَرْوَلَة.
Artinya:
"Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia
berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika
ia mengingat-Ku didepan umum,
maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan
seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan
diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan
diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang
kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori [X11:384] , Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitab Al-Fath Al-Bari
X111:387 mengatakan: “Sebagian ahli sunnah memberikan jawaban (pemahaman)
mengenai hadits (diatas) ini, bahwa kemungkinan yang dimaksud dengan al-mala’ (sekolompok makhluk) ,yang
lebih baik daripada kelompok manusia muslim yang sedang berdzikir itu, ialah
kelompok para nabi dan syuhada (yang mati syahid), karena mereka
–sebagaimana diberitakan Al-qur’an–
hidup disisi Tuhannya (bahkan diberi rizki)”.
Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul
Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil
tentang bolehnya berdzikir dengan
jahar/agak keras’.
Imam Suyuthi juga berkata: ‘Dzikir
dihadapan orang orang (dalam hadits diatas) tentulah dzikir dengan jahar, maka
hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’.
Al-Hafidh Al-Suyuti (lihat: Al-Hawi Lil Fatawi 1:389) mengatakan :
“Dan berdzikir dalam sekelompok orang itu (yang tertulis dalam hadits itu)
tidak terbukti kecuali dengan jahar”.
Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara
marfu’: Allah swt.berfirman:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ
اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي وَلاَيَذْكُرُنِي
فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي
Artinya: “Tidaklah seseorang berdzikir
pada-Ku dalam hatinya kecuali Aku pun akan berdzikir untuknya dihadapan para
malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali
Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “. (HR.
Thabrani).
At-Targib wat-Tarhib 3/202 dan Majma’uz
Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata:
‘Isnad hadits diatas ini baik/hasan. Sama seperti pengambilan dalil yang
dikemukakan tadi bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya ialah
berdzikir secara jahar ’
Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:
سَبَقَ المُفَرِّدُونَ , قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ
قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)
Artinya: “Telah majulah orang-orang
istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka
ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).
Hadits dari Abu Musa
Al-Asy’ary ra sabda Rasulallah saw., yang artinya:
‘Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah
dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!”
(HR.Bukhori).
Dalam riwayat Muslim, yang artinya:
“Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah
didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan
perbedaan antara hidup dengan mati”.
Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu
Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda :
لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ
حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ
السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.
Artinya: “Tidak
satu kaum (kelompok) pun
yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi
Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan
disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim,
Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).
Hadits dari Mu’awiyah :
خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى
حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟ قَالُوْا
جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ
وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟
قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي
لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي جِبْرِيْلُ
فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ
المَلآئِكَةَ.
Artinya: “Nabi saw. pergi
mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya;
‘Mengapa kalian duduk disini?’ Ujar mereka: ‘Maksud kami duduk disini
adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan
kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’.
Sabda Nabi saw.; ‘Demi Allah tak salah sekali! Kalian duduk hanyalah
karena itu'. Mereka berkata; Demi Allah kami duduk karena itu.
Dan saya (Muhamad saw), saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh
curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan
bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim [1V:2075] )
Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :
إذَا مَرَرْتُم
بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ
الله
؟
قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ
مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ
حَفُّوبِهِمْ.
Artinya:
“Jika kalian lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama!
Tanya mereka; ‘Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah’? Ujar Nabi saw.;
‘Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan
pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika
ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.
Hadits riwayat Bukhori dan
Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :
وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: قَالَ
رَسُولُ الله .صَ.: إنَّ ِللهِ مَلآئِكَةً
يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلْتَمِسُـونَ أهْلَ الذِّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا
قَوْمًا
يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا: هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ فَيَحُفُّونَهُمْ
بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ الدّ ُنْيَا, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى
السَّمَاءِ فَيَسْألُهُمْ رَبُّهُم ( وَهُوَ
أعْلَمُ بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟
فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبِيْدٍ فِي
الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ
وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ:
هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ,
فَيَقُوْلُ
: لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ: لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً,
وَاَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْدًا وَاَكْثَرَ لَكَ
تَسْبِيْحًا, فَيَقُـوْلُ : فَمَا يَسْألُوْنِى ؟
َيَقـوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ,
فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ:
لاَ, فَيَقُوْلُ: كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟
فَيَقُولُوْنَ: لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا
اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا
وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ:
فَمِمَّ يَتَعَـوَّذُوْنَ؟ فَيَقُولُوْنَ: مِنَ
النَّـارِ, فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأوْهَا ؟
فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ
رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ: لَوْ رَأوْهَا
كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ:
اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ,
فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِـكَةِ : فُلاَنٌ لَيْسَ
مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ
لِحَـاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هُمُ القَوْمُ
لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling
dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka
menemukan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka
mereka saling menyeru: 'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu
mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap
mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar
dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik
kelangit. Maka bertanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yang
lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman: ‘Darimana kalian semua’?
Malaikat berkata: Kami datang dari sekelompok hamba-Mu dibumi. Mereka
bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepada-Mu.
Allah
berfirman; ‘Apakah mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata: Tidak
pernah! Allah berfirman; ‘Seandainya mereka pernah melihatKu’? Malaikat
berkata; Andai mereka pernah melihat-Mu niscaya mereka akan lebih meningkatkan
ibadahnya kepada-Mu, lebih bersemangat memuji-Mu dan lebih banyak bertasbih
pada-Mu. Allah berfirman; ‘Lalu apa yang mereka pinta pada-Ku’? Malaikat berkata;
Mereka minta sorga kepada-Mu.
Allah
berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat sorga’? Malaikat berkata;
Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Bagaimana kalau mereka pernah
melihatnya’? Malikat berkata; Andai mereka pernah melihatnya
niscaya mereka akan ber- tambah semangat terhadapnya, lebih bergairah
memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman;
‘Dari hal apa mereka minta perlindungan’? Malaikat berkata; Dari
api neraka. Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat neraka’? Malaikat
berkata; Tidak pernah!
Allah
berfirman: ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka’? Malaikat
berkata; Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga
menghindar- kan diri darinya. Allah berfirman; ‘Aku persaksikan
kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka’. Salah satu dari malaikat
berkata; Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok
mereka, dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah dia
akan diampuni juga?). Allah berfirman; ‘Mereka (termasuk
seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama
mereka tidak akan kecewa’ ". Sedangkan
dalam riwayat Muslim ada
tambahan pada kalimat terakhir: 'Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku
beri permintaan mereka'. (HR. Bukhori X1 :209
dan Imam Muslim 1V:2070)
Empat hadits terakhir diatas,
jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan
melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada
para hadirin termasuk disini
orang yang tidak niat untuk berdzikir, serta majlis seperti itulah yang sering dicari
dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul
bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a
yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima
oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul
berdzikir secara jahar,
karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh
perorangan !
Diriwayatkan
juga dari Jabir ra. : “Rasulallah saw. pernah keluar menemui kami, seraya
bersabda; ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu mempunyai beberapa
tawanan dari (kelompok) malaikat yang berdiam (menempati tempat) dan berdiri
(berhenti) pada majelis-majelis dzikir dibumi. Mereka bersenang-senang ditaman
surga. Kami bertanya; ‘Dimanakah taman-taman surga itu’? Beliau saw. menjawab;
‘Pada majelis-majelis dzikir, maka pergilah pagi dan sore hari untuk
berdzikir/mengingat Allah’ “. {HR.Abu Ya’la [3:391], Imam Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak [1:494]. Hadits ini shohih. Dan mengenai Umar bin Abdullah ─maula
Ghufrah─ yang ada dalam sanad hadits
tersebut dinilai tsiqah (dapat dipercaya) oleh Ibn Sa’id dan Imam
Ahmad menilai dia tidak apa-apa. Umar bin Abdullah tidak meriwayatkan hadits
tersebut dari seorang sahabat, sebab jika dia meriwayatkannya dari sahabat maka
riwayatnya itu mursal (ah) } .
Hadits
dari Abu Darda ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sungguh Allah akan
membangkitkan beberapa kaum –pada hari kiamat– yang pada wajah mereka itu
memancar cahaya dari atas mimbar pertama, mereka itu sangat di-inginkan
(disukai) oleh manusia. Mereka bukanlah para nabi dan juga bukan para syuhada”. Abu Darda ra berkata:
‘Lalu ada seorang Arab Badui yang berlutut seraya berkata; Wahai Rasulallah,
perlihatkanlah mereka supaya kami mengetahuinya. Beliau saw. bersabda: ‘ Mereka
adalah orang-orang yang saling mencintai dijalan Allah dari berbagai kabilah,
dari berbagai negeri. Mereka berkumpul untuk
melakukan dzikrullah (dzikir kepada Allah), mereka mengingat-Nya [dengan menyebut-nyebut-Nya]’ “. (Al-Hafidh
Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa
At-Tarhib [2:406] mengatakan; Hadits ini diriwayatkan Imam Thabrani dengan
isnad Hasan. Demikian pula (oleh) Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid-nya [X:77] ).
Al-Baihaqiy meriwayatkan
Hadits dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah saw. bersabda:
لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ
بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ
الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي
Artinya: “Sungguhlah
aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh
hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”
Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu
Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Sungguhlah
aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari sholat ‘ashar
hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang
budak’.
Riwayat Al Baihaqy dari Abu
Sa’id Al Khudrij ra, Rasulallah saw bersabda :
يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ
سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ
اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه
البيهاقي
Artinya: “Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat
kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul
karam (orang yang mulia). Ada yang bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia
itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di
masjid-masjid ”.
Ibnu Hajar
Al-Asqalani mengatakan: “Dikeluarkan oleh Imam Turmudzi, Ibn Majah dan
dishohihkan oleh Imam Al-Hakim dari hadits Abu Darda ra. secara marfu’
Rasulallah saw. bersabda:
‘Senangkah kalian jika aku
beritahukan mengenai amal yang paling baik dan paling bersih/suci disisi Raja
kalian. Lebih tinggi derajatnya bagi kalian, bahkan lebih baik bagimu daripada
menginfakkan emas dan kertas (uang), serta lebih baik daripada bertemu dengan
musuh kalian lalu kalian menebas leher musuh itu dan (atau) mereka membunuh
kalian (menebas leher kalian)’? Mereka menjawab: ‘Ya’. Rasulallah saw.
bersabda: ‘Itulah dzikrullah mengingat Allah ‘Azza wa Jalla (Yang Maha Perkasa
dan Agung)’ “. (HR.Turmudzi [V:459, Ibn Majah [2:1245], Al-Hakim [1:496].
Hadits ini shohih).
Ibn Hajar telah mengisyaratkan
mengenai dzikir tersebut, ketika menjelaskan jihad dan keutamaan orang yang
berjihad (al-mujahid). Bahwa mujahid itu seperti orang yang sedang beribadah
puasa tidak berbuka (sering berpuasa), seperti yang bangun malam (untuk ibadah)
tidak pernah tidur dan keutamaan-keutamaan lainnya yang menunjukkan keutamaan
jihad dibandingkan dengan amal-amal sholeh lainnya. Untuk mengkompromikan
dalil-dalil tersebut –wallahu a’lam– bahwa yang dimaksud dengan dzikrullah
dalam hadits Abu Darda’ –yang sangat besar pahalanya– itu adalah dzikir al-kamil
(yang sempurna).Yakni dzikir yang dilakukan dengan lisan dan disertai
oleh hati, dengan memikirkan makna, serta menangkap keagungan Allah swt.. Dan
orang yang dapat melakukan dzikir semacam itu akan mendapatkan keutamaan –dari
sisi Allah swt.– lebih utama daripada orang-orang yang berperang melawan
orang-orang kafir tanpa penghayatan terhadap perbuatan atau ibadahnya itu.
Keutamaan jihad –berjuang
untuk kemaslahatan dan kejayaan agama Islam– itu juga diakui lebih utama
dibandingkan dengan dzikir dengan lisan
saja tanpa pemaknaan dan penghayatan. Jika ada yang kebetulan berkesempatan
atau dengan sengaja menyempatkan diri untuk melakukan dzikir dengan lisan dan
hati- nya, serta menghayatinya –dan itu semua dilaksanakan ketika dia melakukan
sholat, puasa, sedekah atau berperang melawan orang-orang kafir– maka itulah
yang mencapai derajat yang tinggi (yakni seperti digambarkan dalam hadits Abu
Darda’). Sedang menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Al’Arabi bahwa tiada perbuatan
sholeh kecuali dzikir merupakan syarat untuk membenarkan atau meluruskannya.
Sehingga, siapa saja yang tidak berdzikir umpamanya ketika bersedekah atau
puasa, maka amal ibadahnya tidak sempurna. Jadi, dzikir, jika dilihat dari
fungsinya yang seperti itu dapat dinilai sebagai amal yang paling mulia.
Perhatikanlah, hadits yang berarti : ‘Niat
Mukmin itu lebih hebat (ablagh) daripada amalnya’ “ .
Demikianlah menurut Ibn Hajar
Al-‘Asqalani dari Al-Fath X1:210. (HR.Thabarani dalam Al-kabir V1:185; Baihaqi
dalam Su’ab Al-Iman V:343; Al-Hafidh All-Sakhawi dalam Al-Maqashlud Al-Hasanah
hal. 450, mengenai jalan (sanad) hadits tersebut, mengatakan : ‘Jalan-jalan
hadits tersebut meski dho’if, tetapi semuanya dapat memperkuat hadits
tersebut’. Lihat pula kita Majma’ Al-Zawa’id 1:61.
Mari kita rujuk lagi hadits-hadits
yang jelas berkaitan dengan dzikir secara jahar. Hadits dari Abi
Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata:
اَكْثِرُوْا
ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ
Artinya: “Sabda Rasulallah saw. ‘Perbanyaklah
dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata:
Sesungguhnya dia orang gila’".
(HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman,
Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)
Hadits dari Ibnu Abbas ra.
dia berkata : Rasulallah saw. bersabda:
اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ
Artinya: “Banyak banyaklah kalian berdzikir
kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu
adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani).
Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul
Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua
hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’
dan ‘Kamu itu riya’ , hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang
berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir)”.
Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian
sahabat, dia berkata :
ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ
رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ
فَقُلْتُ :
يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا
فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)
Artinya:
“Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu
beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah
masjid. Akupun berkata; ‘Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini
sedang riya’. Beliau berkata; Tidak! ‘Akan tetapi dia itu seorang
awwah (berdoa, mengadu, penghiba kepada Allah)’”.
(HR.Baihaqi) .
Lihat hadits ini Rasulallah saw. tidak
melarang orang yang meninggikan
suara dimasjid (berdzikir secara
jahar), malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu,
berdoa pada Allah (beriba hati pada Allah swt.). Sifat awwah itu adalah
sifat yang paling baik!
Nabi Ibrahim as juga termasuk seorang yang
awwah (baca QS.Hud:75, QS.at-Taubah:114) .
Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang
lelaki yang biasa dipanggil Zul
Bijaadain; “Sesungguhnya dia
orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering
berdzikir kepada Allah”. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas
menunjukkan bahwa Zul-Bijaadain sering berdzikir secara jahar).
Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata:
“Aku dikabari oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari
tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata:
اَنَّ رَفْعَ
الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ
عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
Artinya: ‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan
suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa
Rasulallah saw.’“. (HR.
Bukhori dan Muslim).
Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa
Ibnu Abbas berkata: “Aku mengetahui
selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau
(yakni ketika berdzikir)”. (HR
Bukhori [ 2 :324] dalam Al-Fath Al-Bari dan oleh Imam Muslim [1:410])
Ibnu Hajr (Fath-Al-Bari 2:325)
mengatakan: ‘Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan
dzikir setelah menunaikan sholat’.
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab I’lam
Al-Muqi’in [2:289] mengatakan:
“Ada ketentuan
atau ketetapan (taqir atau ikrar) nabi Muhammad saw. terhadap para sahabatnya
untuk mengangkat suara dalam dzikir setelah mengucapkan salam
(penutup sholat
wajib). Sehingga orang yang ada diluar masjid mengetahui bahwa yang didalam
masjid itu telah selesai mendirikan sholatnya. Dan tidak seorangpun
yang mengingkari (perbuatan) mereka (para sahabat) itu”.
Sedangkan hadits-hadits lain,
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim mengenai berdzikir secara jahar seusai sholat
sebagai berikut:
Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya:
"Dahulu kami mengetahui
selesainya sembahyang Rasulallah saw. dengan ucapan beliau "takbir".
Hadits nr. 358: Dari Ibnu Abbas, katanya;
"Bahwa dzikr dengan suara
jahar/agak keras seusai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw.
Kata Ibnu Abbas, jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang
telah bubar sembahyang".
Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya;
"Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang
sesudah memberi salam:...." Kata Abdullah bin Zubair, Adalah Rasulallah saw. mengucapkannya dengan
suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang".
(Ketiga hadits terakhir ini
dikutip dari kitab "Terjemahan hadits Shahih Muslim" jilid I, II dan
III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.)
Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam
kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’ hal.25 berkata:
“Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan mengangkat
suara dikala para jema’ah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan
sentiasa dizaman
Rasulallah saw. Ibnu Abbas berkata, ‘Saya memang mengetahui keadaan selesainya
Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir’
(yang disuarakan dengan nyaring) ". (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).
Hadits yang sama dikemukakan juga oleh
Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110;
demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315
dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar
hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan
Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.
Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra
beliau berkata; ‘Kami tidak mengetahui
selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir
secara jahar’.
Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul
Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi
(para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh
(amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil
yang sangat kuat”.
Dzikir dengan jahar
itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk,
sesuatu yang tidak akan didapat kan pada dzikir secara lirih (sir).
Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir jahar ini adalah ulama mutaakhhirin
terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli, dalam risalahnya yang
berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood
beliau mengatakan sebagai berikut:
“Jahar dengan dzikir dan
tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu dimajlis ataupun di
masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan
berdasarkan hadits (qudsi) Nabi saw.: ‘Barangsiapa berdzikir kepada-Ku (Allah) dihadapan orang-orang, maka Aku
pun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’
dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir
yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200), bisa juga dijadikan sebagai
dalilnya (dalil jahar)“.
Sebagian ulama hanya memakruhkan
dzikir jahar yang terlalu keras (jerat jerit), begitu juga
jahar yang tidak keterlaluan bila menyebabkan dirinya riya’ atau mewajibkan
dzikir secara jahar. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi
karena diwajibkan atau disyariatkan pelaksanaanya dengan
cara-cara tertentu ,padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia
akan berubah menjadi makruh, sebagaimana dijelaskan
oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad-Durrul
Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.
Sedangkan Syeikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi Al-Hanbali –wafat th 1349H– dalam
kitabnya Tahqiq Al-Kalam fi Masyruiyyati Al-Jahr
Bi-al-Dzikir ba’da As-Salam (Menegaskan pembicaraan mengenai disyariatkan
menjahar dzikir setelah mengucapkan salam) cet.Dar Al-‘Ashimah Riyadh, cet.2,
1408H hal.48, mengatakan:
“Hadits shohih
dari Nabi Muhammad saw. menyebutkan bahwa menjahar dzikir setelah
mendirikan sholat fardhu itu tidak mengganggu orang lain. Justru
pendapat yang menentang sunnah tersebutlah yang mengganggu dan
membingungkan umat Islam. Bahkan itulah kebathilan yang paling bathil dan
kemungkaran yang sangat jelas karena bertentangan dengan nash. Pendapat seperti
itu juga merupakan penolakan tanpa ilmu dan argumentasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan”.
Demikian pula
yang dikatakan oleh Ibn Hazm dalam Al-Mahali [1V:260] Mas’alatu Raf’I Ash-Shauwti Bi-At Takbir Itsra Kulli Shalatin Hasanun
[ Masalah mengangkat suara dengan takbir setelah melakukan sholat (fardhu) itu
adalah baik].
Imam
Suyuti dalam kitab Natijt Al-Fikr fi
Al-Jahr Bi Al Dzikr (Hasil pemikiran mengenai dzikir dengan suara keras).
Karangan tersebut dimuat dan dicetak dalam kitab Imam Suyuti Al-Hawi Lil Fatawi. Imam Suyuti (Lihat Al-Hawi Lil Fatawi 1:393) mengatakan: “Bila
kamu memperhatikan secara cermat hadits-hadits yang kami (Imam Suyuti)
kemukakan, maka kamu akan memahami –dari keseluruhannya– bahwa menjahar dzikir setelah sholat itu tidak dimakruhkan
sama sekali, justru ada isyarat untuk mensunnah kan baik isyarat tersebut
secara terang-terangan atau secara tersirat saja”.
Memang ada hadits riwayat
Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad; “Sebaik-baik
dzikir adalah secara lirih (sir) .. ”. Sebenarnya
hadits ini adalah lemah. Perhatikan dalam Sohih
Ibn Hibban 3: 91 dan kitab Al-Maqashid
Al-Hasanah karangan Al-Sakhawi ha. 207, bahwa maknanya tidak seperti yang
dipahami oleh sebagian orang. Al-Sakhawi selanjut nya mengatakan; ‘Maknanya
bahwa menyembunyikan amal, tidak mencari kemasyhuran dan berisyarat kepada
seseorang dengan jari jemari tangan itu lebih baik daripada kebalikannya dan
lebih menyelamatkan didunia dan akhirat. Jadi makna dzikir –dalam hadits dhoif itu–
ialah as-syrah al-dzatiyah (perilaku
dzatiyah manusia), yakni, bahwa al-khumul
(ketidakmasyhuran) itu lebih baik daripada kemasyhuran.
Hadits terakhir
diatas tersebut memang dho’if/lemah dalam sanadnya, karena mengikuti tiga
jalur (thariq) yang mengandung tiga ilal
(kelemahan atau penyakit) yaitu Muhamad bin Abdurrahman bin Abu Sayibah dan
Al-Laitsi keduanya lemah. Sedang riwayat Ibn Abi Syaibah dari Sa’d bin Abu
Waqqash itu munqathi’ah –terputus– (yakni menjadi
mursalah).
Imam as-Suyuthi mengatakan
kata-kata 'Sebaik-baik' dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan yang lebih utama.
Jadi hadits 'Sebaik-baik
dzikir..' ,umpamanya shohih, bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya
dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada
bolehnya dzikir secara jahar.
“Imam As-Suyuthi didalam Natijatul/fikri
Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh
Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras,
apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak? Jawab beliau: Itu tidak
ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan
suara agak keras (jahar) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran).
Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain
tergantung pada keadaan tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu
sendiri.
Dengan merinci manfaat
membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahar/jahran dan lirih/sirran itu Imam
Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar
mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah
berfirman:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي
نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ
وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
Artinya:
‘‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan
diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi)
jawab dari tiga sisi:
1. Ayat
diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Makkah sebelum hijrah). Masa turun
ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini:
وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً
Artinya:
‘‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu
sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya…’ (Al Isra’:110).
Ayat itu (Al A’raf :205)
turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahar), kemudian
didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang
menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah (oleh Allah)
untuk meninggalkan cara jahar (pembacaan al-qur'an) guna mencegah terjadinya
kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw.
hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuatan untuk mematahkan
permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir
dalam tafsirnya.
{Info: Nabi Muhammad saw. dilarang untuk mengeraskan suaranya
–waktu membaca Al-qur'an dalam sholat– hanya untuk menghindari bahaya atau
sekedar memenuhi keperluan saja. Sebagaimana beliau saw. pernah dilarang untuk
mencela berhala-berhala dengan alasan yang sama, sebagaimana firman Allah swt.
yang artinya; ‘Maka janganlah kamu mencela orang-orang yang memanggil
selain Allah (berhala) sehingga mereka pun mencela Allah karena
permusuhan (dan) tanpa ilmu’, makna yang dikandung ayat ini
telah hilang setelah muslimin mempunyai kekuatan. [Zaman sekarang
–celaan terhadap berhala, baca al-qur'an secara jahar ketika sholat– semua itu
boleh dilakukan, walaupun orang-orang kafir telah terang-terangan
melakukan penghinaan terhadap Islam--red.]. Makna dan pemahaman seperti itu
telah di-isyaratkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya. Hal ini berbeda
dengan hadits-hadits shohih yang telah kami kemukakan masalah dzikir seusai
sholat dan majlis dzikir---pen}.
2. Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul
Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir,
menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Qur’an.
Nabi saw. menerima perintah jahran
(agak keras) membaca Al-Qur’an sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap
Kitabullah tersebut., khususnya di- waktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat
kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka
hendaklah kalian mendengarkannya...’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya
perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Qur’an yang sedang
dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain
itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran
berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah
meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri
dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.
3. Orang-orang Sufi mengatakan
berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh
Rasulallah saw., karena beliau saw. manusia yang disempurnakan oleh Allah swt.
Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan
sempurna sering diikuti was-was, penuh berbagai angan-angan perasaan, karena itulah
mereka berdzikir secara agak keras/ jahran. Dzikir jahran semua was-was,
angan-angan dan perasaan, lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir
setan-setan jahat.
Pendapat demikian ini
diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengahkan oleh Al- Bazzar dari
Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya
diucapkan dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut
sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan
sholatnya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yang serumah
dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan
bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir jin-jin
durhaka dan setan-setan jahat’.” Demikianlah pendapat Imam
Suyuthi.
Pendapat Ibnu
Taimiyyah mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu 'al fatawa
edisi King Khalid ibn 'Abd al-Aziz, sebagai berikut: Ibnu Taimiyyah telah
ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai
berdzikir, membaca al-Qur’an, berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis,
sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’
ataupun membanggakan diri tetapi
hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah
perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya
bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan
didalam Shari'a (mustahab)
untuk berkumpul dan membaca al-Qur’an dan berdzikir serta berdo’a....’ ".
Pertanyaan ini berkaitan dengan kelompok/majlis dzikir dimasjid-masjid yang
dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah.
Ibnu Hajr mengatakan,
bahwa pembentukan jama’ah-jama’ah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan
untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab berkumpul untuk berdzikir telah diungkapkan
pada hadits Qudsi Shohih: ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu ditengah
sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal
kebaikannya) di tengah jama’ah yang lebih baik’.
Dengan kumpulnya orang
bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjukkan dzikir tersebut
dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa
keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat)
dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasulallah saw.?, karena berdzikir
secara sirran/lirih sudah biasa dilakukan oleh perorangan!
Imam Syafi’i dalam kitabnya
Al-Umm berkata sebagai berikut:
“Aku memilih untuk imam dan makmum agar
keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dan keduanya melakukan
dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat
dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum
itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”. Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama
Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang/mengharamkan dzikir secara jahar apalagi
sampai memutuskannya dengan bid’ah
munkar !
Mari kita rujuk lagi riwayat
hadits ,berikut ini, bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau
iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid
juga, sebagaimana juga bacaan yang dibaca pada kumpulan majlis-majlis dzikir
(tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagainya).
Hadits nomer 581 riwayat Muslim
sabda Rasulallah saw.: “Sesungguhnya
apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’,
berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu, jawab Nabi saw.;
‘jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.
Hadits nomer 582 riwayat Muslim
dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya
apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan
sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu
mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak
terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan
waswas, yaitu membisikkan bisikan jahat “.
Lihat hadits dari Mu’adz bin
Jabal yang telah dikemukakan, bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat
malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya,
serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka, begitu juga dua
hadits terakhir diatas mengenai adzan/iqamah. Walaupun
hadits-hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an pada waktu sholat malam
hari, serta bacaan adzan dan iqomah, tapi intinya sama yaitu pembacaan ayat
Al-Qur’an dan bacaan kalimat-kalimat tauhid dan termasuk dzikir secara jahar. Perbedaannya adalah
satu ketika sholat membacanya, yang lain diluar waktu sholat, tetapi kedua-duanya
bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Dengan berdasarkan
hadits-hadits tadi, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia
selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa di dengar oleh
setan-setan tersebut !
Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu
sebagaimana katanya: Membaca Al-Qur’an maupun berdzikir lebih afdhol/utama
secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau
mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur.
Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu
kadar amalannya lebih banyak daripada membaca Al-Qur’an atau dzikir
secara lirih/sirran.
Selain itu juga membaca
Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaatnya berdampak pada orang-orang
yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri,
membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan
rasa ngantuk dan lain-lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian
Al-Quran lebih baik dibaca secara jahar/jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca
secara lirih/sirran. Bila membaca secara lirih akan menjenuhkan bacalah secara
jahar dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.
Sebagian orang senang
berdzikir secara agak keras/jahran
untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih
konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan
hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama dzikir yang enak, menghilangkan
ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang di- jadikan tempat dzikir oleh kaum
Sufi ini diantaranya masjid Ar Ribath.
Bagi yang memilih dzikir
secara sirran (lirih, pelan) untuk
memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’
(mengharap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang
terkenal.
Terdapat riwayat bahwa Umar
bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar
ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh
Rasulallah saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas itu. Ternyata
Rasulallah saw. membenarkan mereka berdua ini! (lihat; Al-Fatawa al-Haditsiyah
hal. 56, Ibnu Hajr al-Haitami).
Orang dianjurkan berdzikir
setiap saat baik dalam keadaan junub, haid, nifas maupun dalam keadaan
suci (kecuali bacaan ayat Al-Qur’annya), sedang sibuk atau lenggang waktu,
sedang berbaring atau duduk dan pada setiap tempat. Itulah yang dimaksud ayat
Allah swt. diantaranya surat An-Nisa:103, karena dzikir semacam ini boleh
dilaksanakan terus menerus! Lain halnya dengan sholat, ada syarat dan
waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang
sedang haid, nifas, junub (harus mandi dulu), sholat sunnah mutlak yang
hanya niat sholat saja setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga
ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haidh, nifas atau junub dan
hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.
Kalau kita baca ayat-ayat
al-Qur’an, hadits dan wejangan para ulama yang telah dikemukakan tadi, jelas
bahwa berdzikir baik orang berdzikir sendirian, berkelompok,
secara sir atau jahar/agak keras itu semua baik/mustahab dan sebagai
anjuran syari’at Islam. Bagaimana tercelanya saudara kita yang selalu menteror,
mencela dan mensesatkan kumpulan dzikir (tahlil/yasinan, istighotsah dan
sebagainya), yang mana disitu selalu dikumandangkan; ayat-ayat Al-Qur’an,
sholawat pada Nabi saw., pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta
mendo’akan sesama muslimin? Bacaan yang dibaca didalam majlis
tersebut, semuanya tidak ada larangan syari’at, malah sebaliknya banyak hadits
Rasulallah saw. yang menunjukkan kebolehannya/kesunnahannya dan mendapatkan
pahala.
Kita
sering bertanya-tanya juga: Mengapa Para Imam didalam masjidil Haram
Mekkah dan Madinah tidak pernah mengangkat suaranya waktu berdzikir seusai
sholat?, padahal cukup jelas riwayat-riwayat shohih bahwa para sahabat
(tokoh para salaf) berdzikir dengan jahar seusai sholat Fardhu! Apakah para
tokoh Salaf ini melakukan Bid'ah atau mengada-adakan sesuatu amalan yang
mungkar tanpa adanya dalil? Apakah para tokoh Salaf tersebut tidak memahami
makna Firman Allah swt. dalam Surat Al-A'raf 205,
ataukah golongan pengingkar yang tidak pernah menemukan riwayat-riwayat,
yang telah kami kemukakan tersebut?
Dengan adanya
keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada ulama
yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar,
tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi
mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol. Jadi kedua macam cara itu
dibolehkan!!
Aturan/adab (paling
baik/tidak wajib) dalam dzikir, menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy, dalam kitabnya Manhajus
Shalih mengatakan antara lain:
“Kita selalu dalam keadaan
bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat
yang suci (bukan najis). Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian)
dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu. Tempat dzikir tersebut
ditaburi dengan minyak wangi. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah
swt...”. Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk
berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu,
sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa.
Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al
Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir ialah agar tempat
dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis
bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa
kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab, yang kalau dibakar asapnya
berbau wangi. Bau-bauan wangi ini lebih mengkhusyukkan/mengkonsentrasikan,
menyegarkan pribadi orang atau para hadirin, menyenangkan
malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman, yang hadir di majlis dzikir ini.
Bau harum ini malah lebih diperlukan
bila berada di ruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak
ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau
menyan ini banyak dijual baik di
Indonesia, Makkah, Madinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya
adalah Gahru kwaliteit istemewa.
Hadits dari Abu Hurairah ra,
Rasulallah saw bersabda: “Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak,
karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR.Muslim,
Nasa’I dan Abu Dawud)
Hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya
Ibnu Umar ra. membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur
barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata, ‘Beginilah Rasulallah
saw. mengasapi dirinya’.”
Dinegara Saudi Arabia
,central lokasi madzhab wahabi/salafi, pada waktu kami umrah 2001 bulan
suci Ramadhan di Madinah, disana setiap usai sholat Isya’ di tempat
sekitar Raudhah (antara Rumah dan Mimbar
Rasulallah saw.) dan disekitar Mimbar Rasulallah saw. selalu di asapi kayu
gahru yang wangi. Bagi orang-orang yang pernah hadir disekitar tempat ini pada
waktu tertentu itu, insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan
harum tersebut. Malah kami dengar dari para jemaah haji, sampai sekarang masih
diamalkan pembakaran dupa disekitar Raudhah dan mimbar
Rasulallah saw. Padahal ada kelompok wahabi/salafi sering
mengeritik dan membuat ceritera khurafat atau mengisukan yang tidak-tidak
terhadap golongan muslimin, yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis
dzikir.
Diantara golongan wahabi dan
pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu
sedang berkumpul berdzikir maupun
sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain!
Tetapi kalau kita
baca banyak hadits Nabi saw.bahwa setan malah lari mendengar bacaan
dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengada-
kan majlis dzikir. Lihatlah, karena kejahilan atau kedangkalan ilmu mengenai majlis
dzikir, golongan pengingkar ini membuat fitnah dan mengadakan
khurafat-khurafat (tahayul) yang di karang-karang sendiri, agar manusia
mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut.
Mengapa golongan
pengingkar ini tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Makkah dan
Madinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?
Ancaman bagi orang yang menghadiri
kumpulan tanpa disebut nama Allah dan Shalawat atas Nabi saw.
Hadits riwayat Turmudzi (yang
menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :
مَا
قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى
النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي
وقال حسن
Artinya: “Tiada suatu golongan
pun yang duduk menghadiri suatu majlis, tapi mereka disana tidak dzikir pada
Allah swt. dan tidak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat
kekecewaan di hari kiamat”.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal
dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :
وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا
لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً
Artinya: ‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis
tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun
artinya kesulitan... “.
Dalam buku Fathul ‘Alam tertera :
Hadits tersebut menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan
membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.
Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi
saw. bersabda yang artinya :
قَالَ :
قَالَ رَسُوْلَ اللهِ وَعَنْ
اَبِي هُرَيْرَة (ر)
.صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ
مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ
مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
(رواه ابو داود
Artinya:
“Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak
berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu
yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka
kelak dihari kiamat ”. (HR.Abu Daud)
Dalil-dalil mereka yang
melarang dzikir secara jahar dan jawabannya
Dengan adanya riwayat-riwayat
yang dikemukakan tadi dan riwayat lain yang tidak dikemukakan disini, buat kita
insya Allah sudah cukup jelas mengenai dibolehkannya dzikir baik secara lirih
maupun secara jahar. Tetapi golongan pengingkar selalu mengajukan
dalil-dalil yang menurut paham mereka sebagai larangan/haramnya orang
berkumpul berdzikir secara jahar. Dalil-dalil yang mereka ajukan antara lain:
A. Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204): ‘Dan
apabila dibacakan (kepadamu)
ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu
diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk
melarang pembacaan Al-Qur’an secara bersama, yang diamalkan orang-orang
pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).
Sudah tentu pemikiran seperti ini
adalah paham yang keliru, karena makna atau yang dimaksud firman Allah swt itu
ialah: Bila ada orang membaca al-qur’an (diluar sholat), sedangkan orang
lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut
membaca ini dianjurkan/disunnahkan untuk mendengarkan serta memperhatikan
bacaan al-qur’an itu agar mereka mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt.
Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca
al-qur’an dalam kumpulan majlis dzikir! Karena cukup banyak hadits yang
menjanjikan pahala bagi orang yang membaca al-qur’an –disitu tidak disyariatkan
agar dibaca secara berkelompok atau perorangan– serta tidak ada nash baik dalam
al-qur’an maupun sunnah yang melarang membaca al-qur’an secara bersama-sama!
B. Mereka berdalil juga pada firman
Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi: ‘Dan ingatlah Tuhanmu didalam
hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore
hari’.
Ayat ini juga tidak bisa
dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar. Sebenarnya yang
dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Qur’an,
yang sedang dibaca oleh orang lain, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang
telah dikemukakan yaitu surat Al-A’raaf : 204. Dengan demikian, makna surat
Al-A’raf : 205 tadi adalah: ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati wahai
orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan
merendahkan diri serta rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara (yang
berlebihan)...’.
Seperti ini pula makna yang
dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya: Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu
Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata:
Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an)
dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt., maka dari itu
disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar
tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri
dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’.
(baca keterangan pada halaman sebelum ini)
Malah menurut Imam Ar-Rozi
bahwa ayat Al A’raf : 205 justru menetapkan dzikir dengan
jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena
disitu disebut juga ‘...dan bukan dengan mengeraskan suara (jahar yang berlebihan)...’
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan
dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna yang
demikian sesuai dan dikuatkan oleh
firman Allah swt dalam surat Al-Isra’: 110 yang berbunyi: ‘Janganlah
kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu
melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.
Janganlah kita hanya
mengambil dalil dari al-qur'an atau hadits yang berkaitan
dengan dzikir secara lirih dan mengenyampingkan ayat dan hadits yang lain,
yang membolehkan dzikir secara jahar. Kita harus meneliti dan mengetahui motif
dari ayat dan hadits tersebut.
C. Golongan pengingkar ini juga berdalil pada
hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata:
“Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan,
maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak
pula mendaki bukit kecuali kami mengeraskan suara takbir kami. Maka
mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘Lemah lembutlah
kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak
ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang
leher-leher onta tungganganmu’ “. Hadits ini tercantum dalam
kitab-kitab hadits yang enam.
Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits
dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan
sabda Rasulallah saw. “Wahai Abdullah
bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga...?
Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata: Ini
adalah hadits yang shohih.
Golongan ini berkata: “Mengapa
kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir...?, padahal hadits dari Abu Musa
Al-Asy’ari diatas memerintahkan untuk
merendahkan suara di ketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni
Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan
kekuasan-Nya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding
leher-leher onta tunggangan kita !
Alasan inipun tidak tepat
untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk
dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib
sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah
dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan
kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat
Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana
larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak
disyariatkan ! Sebenarnya hadits ini
berkaitan dengan larangan mengangkat suara dzikir dijalan(an) atau
ketika sedang berjalan-jalan, berbeda dengan hadits-hadits yang telah kami
kemukakan itu. Berdzikir secara jahar seusai sholat atau berdzikir berkelompok
telah disebutkan dalam hadits-hadits shohih diantaranya juga
disebutkan dalam shohihain (shohih Bukhori dan Muslim).
Kalau sekiranya Rasulallah
saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras dijalanan apalagi dalam
waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka
bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan (jerat-jerit) itu
sewaktu dalam perjalanan adalah disunnahkan, karena perbuatan mereka itu
didiamkan/diridhoi oleh Rasulallah saw.. Padahal kesunnahan yang seperti itu
tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. Mengeraskan dzikir pada saat itu sedang
dalam perjalanan perang menuju Khaibar seperti itu tidak ada
mashlahatnya/kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar
oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang
itu adalah satu tipu daya’.
Begitupun juga beliau saw.
melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam
menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan
suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud
mengatakan, bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka
itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan
dzikir secara mutlak! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat
itu adalah jahar yang berlebihan (jerat-jerit) sebagaimana ditunjukkan
oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.
Bila hadits dari Abu Musa
Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir
secara jahar, maka akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih yang
berkaitan dengan dzikir secara jahar!
D. Sebagian golongan ini juga melarang
kumpulan majlis dzikir dengan berdalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra.
mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk
kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan berdalil pada hadits ini,
mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.
Umpama riwayat tersebut benar-benar
ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra
melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak
langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang.
Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh
Allah swt. maupun Rasulallah saw.. Tidak ada penentuan/kewajiban dalam syariat
tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a, boleh dilakukan secara berkumpul atau
pun secara individu !
Penafsiran mereka seperti itu
adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan
merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun
muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang
yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya.
Hati-hatilah! Disamping itu riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt
(hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan berdo’a dan
halaqat dzikir (lingkaran dzikir) !
E. Juga golongan ini mengatakan ada riwayat
dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat
Maghrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah
kalian semua pada Allah seperti ini… bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah
seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata:
'….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian
telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi'”.
Riwayat diatas itu dibuat
juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan
majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu
kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada
sekelompok muslimin itu. Kedua umpama
bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjur kan
oleh Nabi saw. maka tidak mungkin
Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasulallah saw. sendiri meridhoi dan
memberi kabar gembira bagi kelompok kaum yang sedang berdzikir. Ketiga, kelompok tersebut belum
melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud
bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak
menyenangi cara pemberitahuan
orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan atau
mensyari’atkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena
dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !! Wallahu a'lam
Janganlah kita main pukul
rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar dengan alasan
sebagian sahabat telah melarangnya pada kelompok manusia tertentu, tapi kita
harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang
oleh sahabat Nabi tersebut. Dengan
demikian kita tidak akan ke bingungan atau kesulitan untuk mengamalkan
hadits Rasulallah saw. lainnya yang mengarah kepada kebolehan dan
kesunnahan untuk berdzikir baik secara
individu maupun berkelompok, baik secara lirih maupun jahar sebagaimana yang
telah dijelaskan juga oleh ulama-ulama pakar, Imam Nawawi, Ibnu Hajr, Imam
Suyuthi serta lain-lainnya.
Begitu juga bila ada sebagian
ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak
berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan! Tidak lain hal
tersebut tergantung pada pribadi
ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk
berdzikir tersebut.
Contoh zaman sekarang yang
bisa kita dengar dan beli kaset-kaset/cd dzikir umpama pembacaan al-Qur’an,
qosidah-qosidah (bacaan sholawat Nabi saw. dan lain-lain), yang dijual dan
dikumandangkan dipasar-pasar atau ditoko-toko diberbagai negara; Saudi Arabia,
Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan lain lain. Malah sekarang
dinegara Eropa yang sebagian penghuninya orang muslimin, umpama di Perancis,
Jerman, Belanda, Inggris, disana banyak sekali dijual dan dikumandangkan
kaset-kaset dzikir tersebut. Kalau semua dzikir jahar ini mungkar dan dilarang
maka menjual dan mengumandangkan kaset-kaset inipun harus
dilarang terutama dinegara-negara Islam yang anti majlis dzikir. Tapi
nyatanya sampai detik ini tetap berjalan malah lebih banyak lagi toko yang
jual kaset-kaset tersebut karena banyak peminatnya.
Insya Allah dengan keterangan
yang sederhana ini, kita dapat mengambil manfaatnya dan mengerti serta
jelas apa yang dianjurkan oleh Allah swt. melalui perantara junjungan kita Nabi
besar Muhammad saw. Insya Allah saudara-saudara kita muslimin yang belum pernah
menghadiri atau mendapat kesalahan informasi mengenai kumpulan dzikir, baca
tahlil/yasinan dan sebagainya, akan diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt.
serta bisa menghadiri majlis dzikir yang penuh berkah, atau setidaknya tidak
akan mencela, mensyirikkan dan mensesatkan orang yang mengamalkan
amalan tersebut. Mencela, mensesatkan sesuatu amal kebaikan itu hanya akan
menambah dosa bukan menambah pahala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar